Kehadiran Freemason Terlihat di Tugu Jogja

Tugu Jogja merupakan salah satu dari beberapa landmark yang menjadi ciri khas Kota Yogyakarta, bahkan yang paling terkenal.

Tugu yang berlokasi di perempatan Jl. Jenderal Soedirman, Jl. A.M Sangaji, Jl. Diponegoro dan Jl. Pangeran Mangkubumi ini pada awalnya dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I sekitar tiga abad yang lalu dengan makna simbolis menghubungkan Laut Selatan, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi karena memang segaris lurus jika dilihat dari sisi tertentu.


Pada awalnya, Tugu Jogja ini bernama Tugu Golong Gilig dengan tinggi sekitar 25 meter dengan bagian bawah yang menyerupai pagar melingkar, tiang berbentuk silinder (gilig) yang mengerucut semakin ke atas dan bentuk bulat (golong) di puncaknya.

Tugu ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan atara Sultan dan rakyat untuk melawan penjajahan

Pada tanggal 10 Juni 1867 sempat runtuh karena gempa, kejadiannya mirip dengan gempa pada 27 Mei 2006 lalu. Bangunan tugu ini direnovasi pada tahun 1889 oleh Opzichter van Waterstaat - Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel pada era pemerintahan Belanda.

Bentuknya sama sekali berbeda. Dari yang semula berdiri setinggi 25 meter menjadi hanya 15 meteran saja, lebih rendah sekitar sepuluh meter dari tinggi aslinya.

Bentuk tugu menjadi persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi tersebut. Bentuk di bagian atas tugu inipun tidak lagi bulat, malainkan kerucut yang puncaknya runcing.

Tugu yang dibangun oleh pihak Belanda sedemikian rupa itu bertujuan untuk mempengaruhi keadaan politik pada saat itu dan demi mengikis persatuan antara Sri Sultan dengan rakyat.

Namun yang terjadi, persatuan antara Sultan dengan rakyat tetap terjalin adanya sehingga sampai kinipun rakyat masih mempercayakan kekuasaan kepada Sri Sultan untuk memimpin dan membimbing Daerah Istimewa Yogyakarta.



Tugu baru yang dibangun oleh pihak Belanda ini sering juga disebut sebagai De Witt Paal yang berarti "Tugu Putih", karena dari dulu didirikan hingga kini selalu bercatkan warna putih. Renovasi dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889 (pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII).

Renovasi ini dilakukan dengan merubah beberapa aspek penting sehingga bentuk dari tugu jogja menjadi yang kita lihat sekarang ini.

Namun ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan, yaitu munculnya sebuah bintang daud (star of david) pada tugu yang juga merupakan simbol freemason. Banyak pihak mensinyalir bahwa Sultan Hamengkubuwono VIII (penerus Sultan Hamengkubuwono VII) adalah salah satu anggota dari Freemason.

Dr. T.H. Stevens, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya berjudul "Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962", yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Sinar Harapan dalam jumlah yang sangat terbatas, banyak memaparkan tentang gerakan dan tokoh-tokoh Freemasonry di Indonesia.

Tokoh-tokoh Mason Indonesia menurut buku tersebut -yang dilengkapi foto-foto ekslusif sebagai buktinya- banyak menyangkut nama-nama terkenal seperti Sultan Hamengkubuwono VIII, RAS. Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, Paku Alam VIII, RMAA. Tjokroadikoesoemo, dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan banyak pengurus organisasi Boedhi Oetomo.


Sumber:
aninditasaktiaji