Stress Setelah Mengalami Bencana? Atasi dengan Kiat ini

Stress yang menimbulkan cepatnya perubahan emosi serta perilaku yang tidak biasa kerap muncul pasca bencana. Hal ini wajar, seperti tutur psikolog klinis dari Brigham Young University, Richard Heaps pada CNN, "Wajar saja karena banyak terjadi kehilangan. Ini adalah suatu perilaku normal dan sehat."

Bukan berarti stress harus dibiarkan. Kita bisa mengantisipasi perasaan tersebut dengan beberapa langkah di bawah ini:

 
english.peopledaily.com.cn


1. Tetap saling berhubungan dan bantu-membantu

"Koneksi dan komunikasi adalah dua hal yang sangat dibutuhkan di saat-saat seperti itu," ujar Brymer.

Terkadang orang yang mengalami musibah akan menarik diri dari lingkungan dan menenggelamkan diri mereka dalam kesedihan. Cara ini merupakan pilihan yang diambil mereka untuk mengatasi stres setelah menghadapi trauma dalam suatu insiden. "Orang-orang seperti ini kemungkinan menolak ancaman, tapi juga menolak penyembuhan," ujar Heaps.

Utamakan jalin komunikasi dengan orang yang paling Anda khawatirkan. Jadi Anda tahu apa yang terjadi, bukan hanya mengkhawatirkan. Jika memungkinkan, menurut Brymer, carilah cara yang paling efektif dan tidak menghabiskan energi. Ia mencontohkan, mengirim pesan pendek atau menggunakan media sosial. "Akan lebih baik lagi kalau Anda berhasil menelepon," ujar Brymer.

 
2. Sayangilah diri Anda dan kembali pada rutinitas

Dalam upaya untuk mengembalikan segalanya dalam keadaan normal, kadang seseorang tendensius untuk bekerja terlalu serius. Cara ini dilakukan sebagai upaya menyembuhkan dan membersihkan diri dari masa-masa duka.

Di antara pekerjaan yang berat itu, penting untuk menyediakan waktu bagi diri Anda sendiri. "Coba pikirkan apa yang sudah Anda makan. Gunakan waktu tidur Anda sebaik-baiknya. Pertimbangkanlah untuk mengambil sebuah keputusan yang perlu didahulukan," ujar Brymer.

 
3. Penyembuhan melalui saling berbagi

Bercerita kepada orang lain atau menulis bisa menjadi cara lain untuk menyembuhkan diri. Bicaralah pada keluarga atau teman-teman tentang apa yang Anda alami. Tuliskan ide atau pikiran Anda dalam sebuah jurnal atau buku.

 
4. Hormati dan dengarkan saran orang lain tentang menghentikan diri dari berduka

Orang lain yang ada dalam bencana alam ikut mengalami apa yang kita rasakan. Karena itu, menurut Brymer, penting memiliki rasa empati untuk mengatasi duka satu sama lain. "Ada satu hal yang harus kita pahami bahwa individu atau anggota keluarga yang mengalami bencana juga merasakan duka yang sama dengan yang kita alami," ujar Brymer. Perasaan memahami inilah yang dapat menyembuhkan diri dari duka bencana alam.

 
5. Batasi paparan gambar media tentang bencana

Banyak dari kita yang terpaku pada layar televisi ketika melihat siaran televisi yang menayangkan bencana alam. Hal seperti ini dapat menimbulkan kekhawatiran tiap orang yang menonton televisi. Padahal, menurut Brymer, di balik gambar yang ditayangkan televisi, ada upaya penyelamatan yang dilakukan. "Gambar ini justru menakuti dan mengkhawatirkan," ujar Brymer.

 
 weather.com


6. Tetap tenang dan rileks dalam menghadapi bencana

Setiap orang yang merasa panik akan mengalami kesulitan bernapas. Menurut Brymer, kondisi panik menyebabkan napas jadi pendek dan terburu-buru. Karena itu, tidak ada salahnya menerapkan metode yang dapat menenangkan diri, seperti meditasi dan berdoa. Ada pula yang memilih untuk bernyanyi untuk menenangkan diri. Namun Brymer menyarankan ada baiknya mencoba bernapas perlahan dengan cara menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan.

 
7. Bantu sesama Anda dengan cara apa pun yang Anda bisa

"Mambantu sesama adalah cara yang paling efektif untuk menyembuhkan," ujar Heaps. Menurut Heaps, ada beberapa jenis orang yang malah melakukan penolakan ketika sedang tertimpa bencana. Justru penolakan ini harus dihindari. "Terima bantuan tersebut, nantinya akan lebih baik lagi bagi Anda yang berduka jika dapat membantu sesama," ujar Heaps.

Jika semua cara di atas sudah diterapkan, namun Anda masih juga mengalami kesedihan yang mendalam, baik Brymer maupun Heaps menyarankan, "Tidak ada salahnya untuk mengunjungi psikolog dan meminta bantuan mereka." Hal ini, menurut Heaps, bukan berarti seseorang mengalami sakit mental. "Melainkan suatu cara untuk mencari penyelesaian masalah dari trauma," kata Heaps.



 


Sumber:
tempo