Museum Adam Malik bangkrut - Prasasti Shankara dijual loak
Bangkrut dan tutupnya Museum Adam Malik pada tahun
2005-2006 berdampak pada hilangnya peninggalan purbakala yang memiliki
nilai sejarah yang sangat tinggi. Sebuah prasasti yang menjelaskan bahwa
di Pulau Jawa hanya ada satu dinasty atau wangsa Sailendra telah hilang
jejaknya.
Sebab saat Museum Adam Malik ditutup, beberapa benda-benda purbakala
termasuk Prasasti Raja Sankhara yang sering juga disebut sebagai
Prasasti Adam Malik ini sudah hilang terjual ke seorang tukang loak.
Akibatnya, benda yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno atau Modang ini tidak diketahui keberadaanya oleh Pusat Arkeologi Nasional. Kesulitan untuk melacak keberadaan benda kuno inipun dialami sebab ahli waris almarhum mantan Wakil Presiden Indonesia Adam Malik itu menjualnya ke seorang tukang loak yang kebetulan lewat di depan museum yang sekaligur menjadi rumah itu.
"Kalau menjualnya ke seorang kolektor kita masih bisa mendata atau menginventarisir. Tetapi ini dijual kepada seorang tukang loak yang kebetulan lewat di depan rumah bagaimana kita bisa menemukannya," ungkap Peneliti Pusat Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo Selasa (30/10) di sela-sela acara World Writers & Cultural Festival 2012 di Hotel Manohara, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Magelang, Jateng.
Prasasti yang mempunyai panjang 75 cm, mirip pepunden warna abu-abu itu dibeli oleh mendiang Adam Malik dari seorang kolektor dari Sragen, Jateng. Pembelian itu dilakukan oleh Adam Malik saat dulu dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di masa Orde Baru saat Presiden Soeharto menjabat. Keberadaan prasasti ini sangat penting sekali untuk menelusuri sejarah dan kebenaran. Sebab, prasasti Raja Sankhara berasal dari abad ke 8 masehi.
Dalam prasasti disebutkan seorang Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Akibat ajaran itu, ayah Raja Sankhara, wafat setelah sakit selama 8 hari. Sankhara takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur.
Isi prasasti Raja Sankhara ini secara garis besar sesuai dengan kisah dalam Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa Raja Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban (Rakai Temperan) untuk berpindah agama, karena agama Siwa yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Siwa sendiri dalam ajaran Hindu merupakan sosok dewa perusak.
Menurut Poerbatjaraka dan pustaka di Arsip Nasional Indonesia 2, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Nusantara, yang semula menganut agama Siwa, tetapi Panamkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Isi prasasti Raja Sankhara juga sesuai dengan Prasasti Sojomerto yang kini disimpan di lokasi penemuannya di Pekalongan, yang menyebutkan tentang Dapunta Sailendra yang dianggap sebagai cikal bakalnya dinasti Sailendra.
Baik prasasti Sojomerto ataupun prasasti Raja Sankhara, ditambah penafsiran atas naskah Carita Parahyangan, mendukung teori bahwa Sailendra adalah wangsa tunggal yang merupakan keluarga penguasa asli Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu kuno sebagai bahasa sehari-harinya seperti tertulis dalam prasasti-prasasti peninggalan wangsa ini.
"Temuan-temuan ini sekaligus membantah teori populer mengenai persaingan dua wangsa beda agama; wangsa Sailendra yang Buddha dan wangsa Sanjaya yang Hindu yang diajukan Bosch dan de Casparis. Karena menurut prasasti Sojomerto dan Raja Sankhara, Sanjaya dan keturunannya adalah anggota wangsa Sailendra, dan wangsa ini sebelumnya adalah pemuja Siwa, sebelum akhirnya Panangkaran berpindah keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana,"ungkap Bambang.
Hilangnya jejak benda bersejarah itu sebetulnya sudah lama dilaporkan ke Dirjen Cagar Budaya dan Permuseuman. Namun, tidak ada upaya dari pemerintah dan lembaga itu untuk melakukan pencarian dan pelacakan benda bernilai sejarah tinggi itu.
"Sudah lapor ke Direktorat Purbakala sekarang namanya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Lapor sejak ada lima tahun yang lalu. Ke Dirjen juga tidak ditanggapi. Alasanya nggak ada laporan dari ahli waris. Tidak mungkin khan masak yang menjual melaporkan?' ujar Bambang.
Tidak hanya prasasti Raja Sankara saja yang dulu menjadi koleksi di Museum Adam Malik itu. Dulu sebuah arca Ghanesa yang berada di Pulau Panitan hilang dari tempat aslinya. Setelah dicari-cari ternyata ada di Museum Adam Malik yang didirikan saat Adam Malik jadi Wapres. Bambang berkeyakinan benda bernilai sejarah tinggi itu masih berada di Indonesia dan tidak akan pernah berhasil jika dilarikan ke luar negeri.
"Akan ketahuan orang bea cukai nilainya tinggi tapi nggak ada harganya. Sekarang bea cukai ketat terhadap peninggalan. Sebuah wayang kulitpun akan dicek dengan petugas bea dan cukai jika memang wayang itu wayang peninggalan bersejarah kuno dan langsung akan dilaporkan ke kita," jelas Bambang.
Bambang menambahkan, benda-benda bersejarah yang mengandung nilai sejarah sampai saat ini banyak tersebar di tangan-tangan kolektor. Sebetulnya, jika dilaporkan Badan Arkeologi hanya untuk diinventarisir dan didata walaupun benda tetap dipertahankan di tempat sang kolektor.
"Masih banyak yang tersebar ke perseorangan dan kolektor, seperti di Pak Jalil kolektor di jalan Kemang, Pak Hasyim di Museum Radya Pustaka. Sejak reformasi 98 peredaran benda-benda cagar budaya tidak teratur dan nggak bener. Banyak bangunan bersejarah yang terbengkalai,"ungkap Bambang.
Selain itu, upaya pembongkaran dan perusakan itu juga didukung dan dibekingi oleh para pejabat yang duduk di partai politik yang dekat dengan poros kekuasaan. Tidak hanya benda-benda purbakala saja, pengerusakan dan pemusnahan bangunan kuno bersejarah juga dilakukan tanpa pertimbangan tempat itu bagian dari sejarah.
"Termasuk bekas bangunan kantor Purbakala sendiri di Jl Cilacap Jakarta dibongkar juga. Ya maaf kalau dari anda ada orang Demokrat. Orang Demokrat yang ada di belakang mereka. Rumah cantik di Teuku Cik Di Tiro, Menteng kabarnya Ibas (Putra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) yang ada di belakang mereka. Juga di tempat lain Pabrik Es yang dipertahankan sama Jokowi yaitu di Saripetojo," pungkas Bambang.
Akibatnya, benda yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno atau Modang ini tidak diketahui keberadaanya oleh Pusat Arkeologi Nasional. Kesulitan untuk melacak keberadaan benda kuno inipun dialami sebab ahli waris almarhum mantan Wakil Presiden Indonesia Adam Malik itu menjualnya ke seorang tukang loak yang kebetulan lewat di depan museum yang sekaligur menjadi rumah itu.
"Kalau menjualnya ke seorang kolektor kita masih bisa mendata atau menginventarisir. Tetapi ini dijual kepada seorang tukang loak yang kebetulan lewat di depan rumah bagaimana kita bisa menemukannya," ungkap Peneliti Pusat Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo Selasa (30/10) di sela-sela acara World Writers & Cultural Festival 2012 di Hotel Manohara, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Magelang, Jateng.
Prasasti yang mempunyai panjang 75 cm, mirip pepunden warna abu-abu itu dibeli oleh mendiang Adam Malik dari seorang kolektor dari Sragen, Jateng. Pembelian itu dilakukan oleh Adam Malik saat dulu dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di masa Orde Baru saat Presiden Soeharto menjabat. Keberadaan prasasti ini sangat penting sekali untuk menelusuri sejarah dan kebenaran. Sebab, prasasti Raja Sankhara berasal dari abad ke 8 masehi.
Dalam prasasti disebutkan seorang Raja Sankhara berpindah agama karena agama Siwa yang dianut adalah agama yang ditakuti banyak orang. Raja Sankhara pindah agama ke Buddha karena di situ disebutkan sebagai agama yang welas asih. Akibat ajaran itu, ayah Raja Sankhara, wafat setelah sakit selama 8 hari. Sankhara takut akan ‘Sang Guru’ yang tidak benar, kemudian meninggalkan agama Siwa, menjadi pemeluk agama Buddha Mahayana dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur.
Isi prasasti Raja Sankhara ini secara garis besar sesuai dengan kisah dalam Carita Parahyangan di mana disebutkan bahwa Raja Sanjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban (Rakai Temperan) untuk berpindah agama, karena agama Siwa yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Siwa sendiri dalam ajaran Hindu merupakan sosok dewa perusak.
Menurut Poerbatjaraka dan pustaka di Arsip Nasional Indonesia 2, Sanjaya dan keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Nusantara, yang semula menganut agama Siwa, tetapi Panamkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana. Isi prasasti Raja Sankhara juga sesuai dengan Prasasti Sojomerto yang kini disimpan di lokasi penemuannya di Pekalongan, yang menyebutkan tentang Dapunta Sailendra yang dianggap sebagai cikal bakalnya dinasti Sailendra.
Baik prasasti Sojomerto ataupun prasasti Raja Sankhara, ditambah penafsiran atas naskah Carita Parahyangan, mendukung teori bahwa Sailendra adalah wangsa tunggal yang merupakan keluarga penguasa asli Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu kuno sebagai bahasa sehari-harinya seperti tertulis dalam prasasti-prasasti peninggalan wangsa ini.
"Temuan-temuan ini sekaligus membantah teori populer mengenai persaingan dua wangsa beda agama; wangsa Sailendra yang Buddha dan wangsa Sanjaya yang Hindu yang diajukan Bosch dan de Casparis. Karena menurut prasasti Sojomerto dan Raja Sankhara, Sanjaya dan keturunannya adalah anggota wangsa Sailendra, dan wangsa ini sebelumnya adalah pemuja Siwa, sebelum akhirnya Panangkaran berpindah keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana,"ungkap Bambang.
Hilangnya jejak benda bersejarah itu sebetulnya sudah lama dilaporkan ke Dirjen Cagar Budaya dan Permuseuman. Namun, tidak ada upaya dari pemerintah dan lembaga itu untuk melakukan pencarian dan pelacakan benda bernilai sejarah tinggi itu.
"Sudah lapor ke Direktorat Purbakala sekarang namanya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Lapor sejak ada lima tahun yang lalu. Ke Dirjen juga tidak ditanggapi. Alasanya nggak ada laporan dari ahli waris. Tidak mungkin khan masak yang menjual melaporkan?' ujar Bambang.
Tidak hanya prasasti Raja Sankara saja yang dulu menjadi koleksi di Museum Adam Malik itu. Dulu sebuah arca Ghanesa yang berada di Pulau Panitan hilang dari tempat aslinya. Setelah dicari-cari ternyata ada di Museum Adam Malik yang didirikan saat Adam Malik jadi Wapres. Bambang berkeyakinan benda bernilai sejarah tinggi itu masih berada di Indonesia dan tidak akan pernah berhasil jika dilarikan ke luar negeri.
"Akan ketahuan orang bea cukai nilainya tinggi tapi nggak ada harganya. Sekarang bea cukai ketat terhadap peninggalan. Sebuah wayang kulitpun akan dicek dengan petugas bea dan cukai jika memang wayang itu wayang peninggalan bersejarah kuno dan langsung akan dilaporkan ke kita," jelas Bambang.
Bambang menambahkan, benda-benda bersejarah yang mengandung nilai sejarah sampai saat ini banyak tersebar di tangan-tangan kolektor. Sebetulnya, jika dilaporkan Badan Arkeologi hanya untuk diinventarisir dan didata walaupun benda tetap dipertahankan di tempat sang kolektor.
"Masih banyak yang tersebar ke perseorangan dan kolektor, seperti di Pak Jalil kolektor di jalan Kemang, Pak Hasyim di Museum Radya Pustaka. Sejak reformasi 98 peredaran benda-benda cagar budaya tidak teratur dan nggak bener. Banyak bangunan bersejarah yang terbengkalai,"ungkap Bambang.
Selain itu, upaya pembongkaran dan perusakan itu juga didukung dan dibekingi oleh para pejabat yang duduk di partai politik yang dekat dengan poros kekuasaan. Tidak hanya benda-benda purbakala saja, pengerusakan dan pemusnahan bangunan kuno bersejarah juga dilakukan tanpa pertimbangan tempat itu bagian dari sejarah.
"Termasuk bekas bangunan kantor Purbakala sendiri di Jl Cilacap Jakarta dibongkar juga. Ya maaf kalau dari anda ada orang Demokrat. Orang Demokrat yang ada di belakang mereka. Rumah cantik di Teuku Cik Di Tiro, Menteng kabarnya Ibas (Putra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) yang ada di belakang mereka. Juga di tempat lain Pabrik Es yang dipertahankan sama Jokowi yaitu di Saripetojo," pungkas Bambang.