Bahasa Gaul di Pelosok Yogyakarta
Sudah banyak cerita yang kita dengar mengenai orang yang terkaget-kaget
ketika pulang kampung dan mendengarkan siaran radio. Bukan apa-apa,
mereka terkejut karena para penyiar radio di sana bicara seperti
lagaknya penyiar radio Jakarta.
Penggunaan kata “elo”, “gue”, “bokap”, “nyokap” dsb sudah seperti makanan harian saja. Mengapa fenomena ini terjadi?
“Hal itu terjadi karena [mereka] ingin kelihatan modern,” kata Ivan Lanin, pencinta bahasa Indonesia dan kontributor Wikipedia. “Dan bahasa Indonesia dengan ragam Betawi itulah yang dianggap modern. Sementara bahasa daerah dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ndeso.”
Bagaimana awalnya? Salah satu dugaan, ini bisa dibilang berawal dari kehadiran jaringan radio dari Jakarta di daerah-daerah pada awal tahun 2000-an.
Ryu Deka, seorang mantan penyiar radio di Yogyakarta menyebut bahwa kehadiran Prambors Radio tahun 2002 adalah awal dari menyebarnya gaya Jakartanisasi di sana.
“Saya dulu salah satu yang turut mendirikan Prambors di Yogya tahun 2002. Waktu itu namanya masih Jogja Radio. Kami memang sengaja mengadopsi gaya penyiar Jakarta, misalnya cara bicara yang cepat dan nadanya yang tinggi dan tentu saja memakai ‘elo-gue’,” kata Ryu.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan gaya bahasa Jakarta ini akan menghilangkan identitas kedaerahan. Ivan mengatakan, “Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Bisa-bisa nanti bahasa ragam Betawi ini dianggap sebagai satu-satunya ragam bahasa Indonesia yang benar.”
Kekhawatiran Ivan sangat masuk akal. Tak terbayangkan bila gaya bahasa seperti ini menyebar hingga kota-kota kecil dan identitas kedaerahan mereka akan makin terkikis — bila tidak hilang sama sekali. Apalagi, penyebaran sinetron yang ditayangkan nyaris semua televisi nasional juga makin gencar mempromosikan gaya bahasa ala Betawi ini.
Hilangnya bahasa daerah ini bukan pepesan kosong belaka. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada pengujung abad 21, bahasa daerah di Indonesia yang tadinya berjumlah 746 bahasa terancam menyusut hingga tinggal 75 bahasa.
Untungnya, sebagian besar warga Yogyakarta memiliki kearifan lokal untuk menolak penyeragaman gaya berbahasa seperti itu. Kebanggaan mereka dengan bahasa daerah dan logat kedaerahan sanggup melawan kehadiran gaya “elo-gue” yang marak di media.
“Awal ketika radio-radio menggunakan gaya bahasa Jakarta, timbul kehebohan. Tapi lama-lama hal seperti itu tidak bisa diterima. Orang Yogya sangat bangga dengan kelokalannya. Kalau radio mengadopsi mentah-mentah gaya bahasa orang Jakarta, itu akan ditolak pendengar,” kata Ryu.
Selain itu, penggunaan bahasa ragam Betawi ini kebanyakan masih terbatas pada perbincangan informal. “Kalau di Bahasa Indonesia kan gaya bahasa formal dengan informal sangat jauh. Selama penggunaan bahasa ragam Betawi itu masih di ranah informal, tidak ada masalah,” Ivan menjelaskan.
Walau begitu, kewaspadaan terhadap arus penyeragaman bahasa ini tetap harus ada. Jangan sampai keinginan untuk diidentikkan sebagai masyarakat modern malah membunuh keberadaan bahasa daerah. Perlu ditekankan bahwa bicara dengan bahasa daerah atau logat kedaerahan bukanlah hal yang memalukan — apalagi suatu keterbelakangan.
“Jangan sampai kita seperti pepatah ‘gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak’. Kita mencari sesuatu yang modern dari jauh tapi melupakan kekayaan bahasa daerah sendiri. Bahasa daerah itu indah dan menyenangkan untuk didengar,” ujar Ivan.
Penggunaan kata “elo”, “gue”, “bokap”, “nyokap” dsb sudah seperti makanan harian saja. Mengapa fenomena ini terjadi?
“Hal itu terjadi karena [mereka] ingin kelihatan modern,” kata Ivan Lanin, pencinta bahasa Indonesia dan kontributor Wikipedia. “Dan bahasa Indonesia dengan ragam Betawi itulah yang dianggap modern. Sementara bahasa daerah dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ndeso.”
Bagaimana awalnya? Salah satu dugaan, ini bisa dibilang berawal dari kehadiran jaringan radio dari Jakarta di daerah-daerah pada awal tahun 2000-an.
Ryu Deka, seorang mantan penyiar radio di Yogyakarta menyebut bahwa kehadiran Prambors Radio tahun 2002 adalah awal dari menyebarnya gaya Jakartanisasi di sana.
“Saya dulu salah satu yang turut mendirikan Prambors di Yogya tahun 2002. Waktu itu namanya masih Jogja Radio. Kami memang sengaja mengadopsi gaya penyiar Jakarta, misalnya cara bicara yang cepat dan nadanya yang tinggi dan tentu saja memakai ‘elo-gue’,” kata Ryu.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan gaya bahasa Jakarta ini akan menghilangkan identitas kedaerahan. Ivan mengatakan, “Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Bisa-bisa nanti bahasa ragam Betawi ini dianggap sebagai satu-satunya ragam bahasa Indonesia yang benar.”
Kekhawatiran Ivan sangat masuk akal. Tak terbayangkan bila gaya bahasa seperti ini menyebar hingga kota-kota kecil dan identitas kedaerahan mereka akan makin terkikis — bila tidak hilang sama sekali. Apalagi, penyebaran sinetron yang ditayangkan nyaris semua televisi nasional juga makin gencar mempromosikan gaya bahasa ala Betawi ini.
Hilangnya bahasa daerah ini bukan pepesan kosong belaka. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada pengujung abad 21, bahasa daerah di Indonesia yang tadinya berjumlah 746 bahasa terancam menyusut hingga tinggal 75 bahasa.
Untungnya, sebagian besar warga Yogyakarta memiliki kearifan lokal untuk menolak penyeragaman gaya berbahasa seperti itu. Kebanggaan mereka dengan bahasa daerah dan logat kedaerahan sanggup melawan kehadiran gaya “elo-gue” yang marak di media.
“Awal ketika radio-radio menggunakan gaya bahasa Jakarta, timbul kehebohan. Tapi lama-lama hal seperti itu tidak bisa diterima. Orang Yogya sangat bangga dengan kelokalannya. Kalau radio mengadopsi mentah-mentah gaya bahasa orang Jakarta, itu akan ditolak pendengar,” kata Ryu.
Selain itu, penggunaan bahasa ragam Betawi ini kebanyakan masih terbatas pada perbincangan informal. “Kalau di Bahasa Indonesia kan gaya bahasa formal dengan informal sangat jauh. Selama penggunaan bahasa ragam Betawi itu masih di ranah informal, tidak ada masalah,” Ivan menjelaskan.
Walau begitu, kewaspadaan terhadap arus penyeragaman bahasa ini tetap harus ada. Jangan sampai keinginan untuk diidentikkan sebagai masyarakat modern malah membunuh keberadaan bahasa daerah. Perlu ditekankan bahwa bicara dengan bahasa daerah atau logat kedaerahan bukanlah hal yang memalukan — apalagi suatu keterbelakangan.
“Jangan sampai kita seperti pepatah ‘gajah di seberang lautan tampak, kuman di pelupuk mata tidak’. Kita mencari sesuatu yang modern dari jauh tapi melupakan kekayaan bahasa daerah sendiri. Bahasa daerah itu indah dan menyenangkan untuk didengar,” ujar Ivan.