Selain sebagai tempat beribadah umat Muslim, ternyata masjid
juga mempunyai nilai tinggi dalam bentuk bangunannya. Sangat keren dan
luar biasa, tak kalah dengan bangunan-bangunan lain diluar tempat
ibadah. Bayangkan saja bila umat Muslim bisa beribadah di salah satu
tempat tersebut. Asyik pastinya dan berikut Masjid-masjid tersebut :
Banyak
kaum muslim yg mengagung-agungkan zaman keemasan Islam namun sayangnya
tidak mengenal aliran mutazilah. Aliran mutazilah lah yang memberikan
ruh kebebasan berpikir dan rasionalisme dalam ideologi Islam.
Pembangunan Bait Al-Hikmah, kemajuan sains, bahkan era renaissance Eropa
pun berkat sumbangan mereka.
Mu'tazilah berasal dari
kata "i'tazala" (memisahkan). Kisahnya, suatu hari, Hasan al Bashri
sedang mengadakan kajian rutin bersama murid-muridnya, termasuk Wasil
bin Atha', di masjid. Tiba-tiba datanglah seorang pria bertanya pada al
Bashri,
"Di zaman ini, ada beberapa golongan yang
mengkafirkan dan memurtadkan sebagian umat Islam yang telah melakukan
dosa besar. Ada pula golongan yang menyatakan bahwa dosa besar tidak
akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka bila masih terdapat iman
dalam hatinya. Bagaimanakah pendapat tuan guru mengenai masalah ini?"
Hasan
al Bashri sejenak berpikir karena tidak mau gegabah dalam memberikan
keputusan. Tetapi, tanpa dikomando, Wasil bin Atha' langsung
mengutarakan pendapatnya,
"Menurutku, muslim yang berdosa
besar bukanlah mukmin mutlak, tapi bukan juga kafir mutlak, ia akan
ditempatkan di sebuah tempat di antara surga dan neraka (al A'raf),
sesuai dengan kedudukannya sebagai bukan mukmin dan bukan kafir"
Washil
bangkit berdiri, memisahkan diri dari majelis gurunya (al Bashri), dan
berdiam di salah satu tiang masjid, lalu ia mengulangi lagi pendapatnya
dengan nada keras.
Dengan suara pelan, al Bashri berkata , "i'tazala 'anna Washil" (Washil telah memisahkan dirinya dari kita).
dikutip dan dimodifikasi dari 30 Kisah Teladan.Mu'tazilah aktif sebagai aliran pada abad ke-8 M sampai abad ke-10 M (kira-kira 130 sampai 300 tahun sesudah Hijrah)
Washil bin Atha', pendiri aliran Mu'tazilah, hidup pada pertengahan masa Kekhalifahan Umayyah.
Aliran Mu'tazilah bertahan melalui perubahan dinasti dari Umayyah ke Abbasiyah.
Mungkin
puncak kejayaan aliran Mu'tazilah adalah pada masa Khalifah Abbasiyah
al-Ma'mun, 786-833 M. al-Ma'mun, putra Khalifah Harun al-Rasyid,
terkenal sebagai khalifah yang mencintai ilmu, dia mendirikan Bait
al-Hikmah, perpustakaan dan pusat penerjemahan buku. Masa yang sering
dianggap sebagai masa kejayaan Islam secara umum di bidang keilmuan.
al-Khawarizmi
dan al-Kindi adalah dua ulama yang aktif di Bait al-Hikmah pada masa
al-Ma'mun. Penanggung jawab penerjemahan di Bait al-Hikmah adalah ulama
Kristen Hunain bin Is.haq/Johannitius.
Aliran Mu'tazilah melemah ketika khalifah al-Mutawakkil (820-860 M) tak lagi menganutnya sebagai "aliran resmi negara".
Ajaran-ajaran Mutazilah
1. Tauhid (Ke-Esaan Allah)
Mutazilah mempunyai cara unik dalam menjelaskan tauhid, yaitu melalui peniadaan sifat2 (nafy al-sifat)
Tuhan. Apa-apa yg disebut sbg sifat sebenarnya bukanlah sifat yg
mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Melainkan sifat yg merupakan
esensi Tuhan. Tidak mungkin sifat yg mempunyai wujud sendiri melekat
pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yg melekat pada
zat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat ikut bersifat qadim.
Ini menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan, karena yg
bersifat qadim hanyalah Tuhan. Oleh karena itu untuk memelihara murninya
tawhid atau Ke Maha Esa-an Tuhan, Tuhan tak boleh dikatakan mempunyai
sifat dalam arti diatas. Ajaran ini belum matang ketika di ucapkan oleh
Wasil, namun disempurnakan murid2nya setelah mempelajari filsafat
Yunani.
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Tuhan, kata
Wasil bersifat bijaksana dan adil. Tidak mungkin Tuhan bersifat jahat
dan zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki manusia untuk melanggar
perintah2nya. Dengan demikian manusia sendirilah yg sebenarnya
mewujudkan perbuatan baik atau jahatnya, iman dan kekufurannya, patuh
dan pembangkangannya. Untuk mewujudkan perbuatan2 itu, Tuhan memberikan
daya dan kekuatan kepada manusia. Tidak mungkin Tuhan memberikan
perintah jika manusia tidak mempunyai daya untuk mengerjakannya.
3. Al-Wa'd wa al-Wa'id (Janji dan Ancaman)
Tuhan
memberikan janji baik bagi orang2 yg patu kepada-Nya, dan memberikan
ancaman bagi orang2 yg melanggar perintah-Nya. Dia tidak akan menarik
kata2nya atau bertindak berkebalikan dgn janji2nya
4. Al-manzillah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Menurut
ajaran ini, orang yg berbuat dosa besar bukan kafir, sebagaimana
disebut kaum Khawarij, juga bukan mukmin, sebagaimana disebut kaum
Murjiah, melainkan fasiq yg menempati posisi antara mukmin dan kafir.
Kata mukmin, menurut Wasil, merupakan sifat baik dan nama pujian yang
tak dapat diberikan kepada orang fasiq, dengan dosa besarnya. Tetapi
tidak bisa disebut juga kafir, karena dibalik dosa besar ia masih
bersyahadat, beriman, dan melakukan perbuatan2 baik. Orang ini jika
meninggal tanpa bertaubat maka akan menerima siksaan namun lebih ringan
dari siksaan orang kafir.
5. Al-amr bil ma'ruf wa al-nahy 'an al munkar (Mengajak Kebaikan dan mencegah keburukan)
Ajaran
ini merupakan ajaran yg universal dalam seluruh teologi Islam. Kaum
khawarij berpendapat ekstrim bahwa mencegah keburukan adalah suatu
kewajiban dan kalau perlu dilakukan kekerasan untuk melakukannya.
Sementara Murjiah lebih toleran dalam hal ini, menurut mereka hanya
Allah yg berhak menghakimi orang lain. Karena itu mereka lebih memilih
dgn cara seruan dan sangat menghindari kekerasan. Mutazilah berada pada
posisi tengah2 sehingga tidak menafikkan cara kekerasan untuk mencegah
kemungkaran, bisa dilihat dari sejarahnya kaum ini sering menggunakan
kekerasan untuk menyebar luaskan ajarannya.
Para ulama sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati.
Para ulama mengatakan, Islam adalah:
الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
“Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.”
Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala berfirman,
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan.
Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.
Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau[1] berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.
“Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.
(*) Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- dalam kitab “Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.
Dari artikel Prinsip Akidah Seorang Muslim — Muslim.Or.Id by null